Kulirik ruang tamuku. Balon-balon sudah
tertata rapi. Hiasan, bunga-bunga semua sesuai dengan permintaan Raisa anak
gadisku. Ulang tahun Raisa yang ke delapan ini, semua sesuai kemauannya. Kue
dengan tinggi satu meter juga sudah berdiri tegak di sana dengan hiasan kelopak
mawar di sekelilingnya. Teman-teman SD Raisa sudah datang. Ke mana anak gadisku
ini?
Aku melangkah menuju ke lantai atas rumah.
Sudah jam tujuh malam, acara harusnya segera di mulai. Setengah delapan aku harus sampai di cafe. Ada meeting penting yang harus kuhadiri.
Raisa, ke mana kau nak?
“Raisa? Di mana kamu sayang?”
Kubuka pintu kamarnya. Ada tumpukan kado
dariku di atas meja. Kupandangi sekitar, mencari-cari keberadaannya. Dia sedang
berdiri di depan jendela kamarnya yang langsung menghadap ke halaman rumah.
“Raisa, ayo turun. Teman-temanmu sudah
datang.” bujukku.
Raisa menggelengkan kepala. Gaun putih panjang membuatnya terlihat manis. Aku telah menyewa piñata rias untuk memoles wajah
polosnya yang cantik seperi mamanya.
“Kenapa sayang?”
“Om Badut belum datang, Papa.”
“Sebentar lagi sayang. Papa sudah
mengundangnya.”
“Beneran Pa? Ngga bohong kan?”
“Serius. Papa selalu memberikan apapun
yang Raisa mau.”
“Asik!” Raisa memelukku senang.
Kulirik arloji di tanganku. Sudah jam
tujuh seperempat. Sialan juga badut itu. Badut yang kata Raisa langganan di
sekolahnya telah kubayar di muka untuk acara ini. Benar-benar tidak tahu
diuntung! Maunya makan duit orang tanpa bekerja.
“Lihat Papa! Om Badut datang!” teriak
Raisa kegirangan dan berlari ke luar kamar.
Aku tersentak. Senyum itu, sudah lama
sekali aku tidak melihatnya di wajah Raisa. Senyum yang hilang delapan bulan
yang lalu setelah kematian mamanya, istriku.
***
Acara ulang tahun di mulai. Semua tamu
Raisa sibuk bernyanyi. Si Badut sialan itu ikut memimpin, berjingkrak-jingkrak
kegirangan. Tiup lilin dan potong kue untuk Raisa. Potongan pertama untukku.
Potongan ke dua untuk Badut sialan itu. Si Badut menyunggingkan senyum. Aku
tahu, dia pasti mengejekku.
Entah sihir apa yang digunakan untuk
mengambil hati Raisa putriku. Bisa-bisanya Raisa membandingkan aku dengan Badut
sialan itu. Kalau bukan karena Raisa, aku tak akan sudi memanggilnya. Setengah
delapan, gara-gara badut itu mungkin aku tidak bisa memenangkan tender.
Buru-buru aku berjalan ke luar rumah
tanpa berpamitan dengan Raisa. Aku harus pergi apapun yang terjadi.
“Papa! Mau ke mana?” teriak Raisa dari
depan pintu.
“Papa pergi sebentar sayang. Ada
pekerjaan penting yang harus Papa selesaikan.”
Kulambaikan tangan sekilas. Raisa
cemberut dan masuk ke dalam rumah. Ini demi kamu sayang.
Kulajukan mobilmu dengan kencang. Kucoba
menelfon Ana sekretarisku yang sudah standby
di café. Kulirik bangku di sampingku.
Ke mana tas kerjaku? Berkas itu harusnya aku bawa saat meeting.
Kuhentikan mobilku dan berbalik arah ke
rumah. Aku baru ingat, saat pulang kerja tadi, Raisa bersikap manis dan
membawakan tasku ke dalam ruang kerjaku. Ya Tuhan, Raisa!
***
Aku berjalan masuk ke dalam rumah.
Terhenti mematung melihat Raisa dari depan pintu. Dia tertawa, lebar sangat
lebar sampai-sampai memegangi perutnya. Teman Raisa yang lain juga sama, mereka
tertawa-tawa karena permainan si Badut sialan itu. Sudah terlalu lama, aku
tidak melihat tawa renyah Raisa. Raisa memeluk Badut itu, mengecup pipinya
perlahan.
Ada perasaan panas menjalar di dadaku.
Rasa yang sulit di jelaskan. Mungkinkah aku cemburu?
“Raisa.” Panggilku.
Raisa menoleh, berlari memelukku.
“Papa! Om Badut lucu sekali.”
Raisa menarik tanganku, mendekatkanku
kea rah badut itu.
“Papa belum kenalan kan sama Om Badut?
Om Badut ini pintar sekali membuat Raisa tertawa.” cerita Raisa penuh antusias.
Badut itu mengulurkan tangannya.
Kusambut uluran itu.
Si Badut kembali bermain dengan Raisa
dan anak-anak yang lain. Mereka kembali tertawa, membahana di ruang tamuku.
Aku bertanya, lebih tepatnya bertanya
kepada diriku sendiri. Kapan terakhir kali aku membuat Raisa tertawa lepas
seperti itu? Membuat Raisa lupa dengan kesedihan, memeluknya, mencium pipinya.
Sudah berapa lama aku melewatkannya?
“Pak Ray, maafkan saya.” kata Badut itu menyadarkanku.
“Maafkan saya karena sudah telat datang
di ulang tahun Raisa.” katanya lagi.
“Sudahlah. Toh kamu sudah datang.”
kataku tak peduli.
Kuperhatikan Raisa yang sibuk menyalami
tamunya yang akan pulang. Dia terlihat begitu senang.
“Pulang dari makam saya langsung
berdandan kesini Pak. Jadi telat. Sekali lagi maaf.”
Aku menatap badut itu.
“Makam?”
“Iya Pak Ray. Anak saya baru saja
meninggal karena kecelakaan lalu lintas.”
Ya Tuhan! Aku mentapnya tak percaya.
“Aku turut berbela sungkawa.”
“Terimakasih Pak Ray.”
“Bapak tidak sedih? Harusnya Bapak ijin
untuk ini.”
“Sedih? Tentu saja saya sedih. Dia
satu-satunya anak lelaki saya. Mau ditangisi, toh dia tidak akan balik lagi
Pak. Yang bisa kami lakukan ya legowo, ikhlasin dia di sana. Kalau kita
nangisin terus, justru menghambat jalannya di sana. Lagian, Pak Ray sudah bayar
saya di muka. Saya tidak tega melihat Raisa sedih. Pak Ray lihat tadi? Semua
anak tertawa. Apa jadinya kalau saya ingkar janji?”
Aku terhenyak. Apa yang telah aku
lakukan?
“Pak Ray, saya pamit dulu ya?”
“Iya Pak. Aku dan Raisa akan mengantar
sampai rumah.”
“Tidak usah repot-repot Pak Ray. Anda
dan Raisa sudah terlalu baik kepada keluarga saya. Uang yang Anda berikan
kemarin bisa biayai anak-anak sekolah. Terimakasih Pak Ray.”
Kupandangi punggung Badut yang kubilang
sial tadi. Dia mendekati Raisa. Berpamitan dan memeluknya sekilas. Bagaimana
bisa? Badut yang menurutku sial, ternyata berbalik arah. Dia sedih, tapi masih
mampu menghibur orang lain. Sedangkan aku?
Aku masih ingat saat mama Raisa
meninggal. Aku terpukul berat. Berhari-hari aku mengurung diri di kamar,
mengisi separuh hati yang telah pergi. Rasanya dunia runtuh, tak sanggup lagi
kaki berpijak di bumi. Aku bahkan mungkin tak peduli dengan keberadaan Raisa
yang juga merasakan kehilangan yang sama.
Dua minggu setelah kepergian mama Raisa,
aku menyibukkan diri dengan bekerja. Menghabiskan waktu dengan kerja dan kerja.
Aku hanya mengantar Raisa ke sekolah. Aku tak peduli bagaimana penampilannya,
kuncir dan kepangan biasanya mamanyalah yang mengurus semuanya. Yang kuingat
dan tidak pernah berubah setiap pagi selalu ada secangkir teh di meja seperti
yang selalu dilakukan mama Raisa. Mungkinkah Raisa yang menyiapkannya?
Aku mendekati Raisa yang sibuk membuka
kadonya. Kupeluk tubuh mungilnya. Aku merindukan Raisa juga mamanya.
“Raisa, maafin Papa ya?”
Raisa berbalik menatapku.
“Memangnya Papa salah apa?”
“Papa tidak memerhatikan kamu. Papa
sibuk sendiri.”
“Tidak masalah Papa. Raisa bisa mandiri.
Raisa sudah bisa kepang rambut sendiri.”
Aku tersenyum menatapnya. Gadis
mungilku.
“Kadonya banyak ya Raisa. Papa boleh
minta satu?” godaku.
“Papa mau minta yang mana? Tidak ada
yang cocok untuk Papa. Oh iya, kadonya mana Pa?”
“Kado? Bukannya sudah Papa taruh di meja
kamar?”
“Kado yang lain Papa!”
“Apa?”
“Mama baru untuk Papa. Biar ada yang
ngurusin Papa. Biar Papa tidak sedih lagi.”
Aku terhenyak dengan permintaan Raisa.
“Kan udah ada Raisa yang ngurusin Papa.
Terimakasih buat tehnya ya?”
“Sama-sama Papa.” jawabnya seraya
mencium pipiku.
PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1