Bismillaahirrahmaanirrahiiim....
Menyebut seseorang dengan kata bodoh itu seperti merendahkan. Saya sendiri dari dulu berusaha untuk memanggil seseorang dengan namanya, nama yang baik. Pernah ada teman sekolah namanya Udin, tapi punya julukan Manuk. Waktu saya absen (Sekretaris mode on) saya tetap memanggilnya Udin. Intinya sih saya tidak nyaman dengan panggilan jelek.
Bergulirnya waktu, Mbak saya yang nomor 2, Mbak Ita, sering kali menyebut saya pintar tapi bodoh. Awalnya jelas tidak nyaman. Kenapa harus bodoh?
Saat sekolah, saya sering dapat rangking. Mungkin karena alasan inilah saya dulu disebut pintar. Pintar dalam versi nilai yang lebih tinggi dari siswa lain. Dalam hal berbau fisik, apa saya juga pintar? Tidak. Saya bodoh. Saya tidak terlalu suka olahraga.
Apapun yang terjadi, bagi Mbak Ita, saya ini tetaplah adiknya yang bodoh. Adik yang ketika kelas lima SD tidak bisa membedakan kata dan kalimat sehingga saat diminta guru menulis kalimat dengan kata kerja, saya hanya menambahkan imbuhan dan akhiran dalam kata kerja.
Mbak saya mengomel panjang saat saya yang masuk IPA bertanya bagaimana cara ayam atau bebek kawin. Saat itu kami tidak sengaja melihat ayam kawin, ayam betina dinaiki ayam jantan, tengkuk ayam betina dicucuk paruh si jantan. Mbak Ita geram, kenapa saya bodoh sekali?
Apa akhirnya saya tahu? Ya :shy.
Dan akhirnya, apa sekarang saya sudah pintar lagi? Entahlah! Tinggal dilihat standar kepintaran mana yang digunakan.
Jujur, selain kurang waras, saya ini merasa bodoh, bodoh sekali. Saat membaca buku X, ternyata pengetahuan saya tidak seberapa. Semakin ke sini, pengetahuan saya ternyata minim. Saya masih harus banyak belajar. Belajar dari buku, dari kalian, dari alam, dan dari hidup yang terus berkembang.
Saya hanya bisa berdoa, semoga di sana, jauh di sana, ada yang mau menerima ketidaknormalan saya, ketidakwarasan pikiran saya dan juga kebodohan saya. Bukan kah cinta itu menerima kekurangan? :uhuk :smile :shy :hai.