Kata para penulis disebelah, menulis tanpa secangkir kopi itu hambar. Apa itu juga berlaku bagiku? Tentu saja tidak. Kebetulan, aku bukanlah pecinta kopi. Bukan berarti aku membencinya, tidak sama sekali. Toh aku masih anggota WB yang kebanyakan pecinta kopi. Jadi, apa aku bermasalah dengan kopi? Tentu saja tidak sama sekali. Ini tentang personal taste yang memang berbeda.
Dulu waktu kecil, aku masih bisa minum kopi. Aku juga suka memanjat pohon kopi dan mengambil buahnya. Aku mengulumnya, manis sekali. Aku suka bau bunganya yang seperti melati. Kadang saat bunganya banyak, semerbak baunya itu ku kira milik makhluk halus. Ah ternyata ngayal.
Waktu kecil, aku sering sekali icip-icip kopinya Bapak. Nah ditegur kan sama Bu e. "Anak kecil jangan terlalu banyak minum kopi, ntar ndakik," ultimatum Bu e. Ndakik itu ketagihan. Ada benarnya juga karena aku jadinya pengen terus minum kopi. Akhirnya aku putuskan untuk berhenti sampai sekarang ini.
Dalam pemberhentian ini, aku juga tidak serta merta tidak minum sama sekali. Kalau dalam bentuk pop ice kopi, aku masih bisa meminumnya, tapi jarang sekali. Dalam kondisi hangat, satu dua teguk aku masih mau meminumnya. Yah sekedar menghormati si pemberi kopi.
Pernah disuatu pertemuan arisan RT yang kebetulan aku yang mewakili, tuan rumah menyediakan kopi sebagai jamuannya. Aku meminumnya dan tahu apa yang terjadi? Aku ngantuk sangat. Entah itu karena kopi atau karena kondisi dan suasa yang memang mendukung untuk ngantuk, aku tidak tahu.
Lalu, apa hubungannya kopi dan penulis? Entahlah. Ada kalanya seseorang itu bisa semangat menulis saat ditemani secangkir kopi. Banyak sekali teman blogger yang berhasil dengan cara itu. Tapi ya itu, tidak untukku.
Aku menulis karena aku suka. Aku tidak ingin tergantung dengan apapun. Sering kali melawan mood agar bisa menghasilkan karya. Aku tidak perlu secangkir kopi atau setoples cemilan untuk menemani menulis. Aku hanya butuh konsentrasi dan menuangkan semua yang ada difikiranku kemudian menuliskannya. Tidak ada ritual khusus dalam menulis. Yang pasti, aku lebih suka kondisi sendiri dan tenang seperti di kuburan.
Itulah, aku dan kopi. Sampai hari ini, aku masih belajar tentang kopi. Berusaha mencari informasinya di google. Aku juga punya fiksi tentang kopi yang masih mengendap di draft. Sampai kemarin saat di rumah, aku masih membuatkan kopi untuk Bapak. Yah, aku masih bisa membuatnya meskipun tidak meminumnya. Kalau ada yang bertanya hal apa yang paling ku rindukan tentang kopi, aku akan menjawabnya. Aku rindu saat mantan Bos Koreaku memanggil lewat
Tangga Most Wanted atau lewat interkom hanya untuk membuatkannya secangkir kopi atau bercangkir-cangkir kopi untuk teman-temannya.
Hah, orang Korea saja suka kopi buatanku apalagi orang Indonesia?
Tulisan ini diikutsertakan pada GA Salam Kenal Lomba Artikel Penulis & Kopi oleh Lisa Gopar