Sahabat? Siapa sahabatku? Kata orang, sahabat adalah seseorang yang bisa diajak berbagi suka dan duka. Ketika definisi itu yang menjadi patokan, aku fikir sepertinya aku tidak punya sahabat. Mengerikan sekali bukan? Ya, rasanya tak pantas saja jika aku membagi dukaku pada orang lain. Yang aku mau, mereka selalu melihat senyum dalam diriku. Bukankah rasa itu menular? Dan jika aku bahagia, maka setiap yang melihatku juga ikut bahagia.
Saat kecil, aku punya seseorang yang ku anggap sebagai sahabat Meskipun kami adalah rival, tapi kami tetap bermain bersama. Sampai suatu ketika, aku mau saja saat dia menyuruhku untuk menjatuhkan sepeda seseorang yang terparkir disamping sekolah. Akhirnya, si pemilik sepeda menegurku. Dengan jujur, aku bilang temanku yang menyuruhku. Aku kira masalah akan selesai jika kami bisa menghadapinya bersama. Tapi nyatanya, dia meninggalkanku, dia tak mau mengaku. Aku tersedu, mengangis, aku benci. Cerita pahit kelas 3 SD masih saja membekas dalam rongga fikiranku. Inikah yang disebut sahabat?
Waktu kian berlalu. Aku masih tak menemukan sosok sahabat baru. Rasanya tak percaya saja menumpahkan masalahku pada orang lain. Banyak yang datang silih berganti. Tapi toh semuanya tak pernah tahan bersamaku. Mungkin aku sendiri yang terlalu sulit membuka pagar di hati.
Sebenarnya banyak juga juga yang mau menumpahkan masalahnya padaku. Aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Aku berusaha memberi masukan yang baik untuk mereka. Mungkin mereka menganggapku sahabat, lalu aku? Ya, aku juga ingin mendapat pengakuan yang sama.
Aku bukanlah sosok sahabat idaman. Harusnya mungkin aku bisa mendukung sahabatku saat ada masalah. tapi yang terjadi justru sebaliknya, aku menolaknya mentah-mentah. Aku tidak sering patah hati, tapi aku tau gelagat orang jatuh cinta. Ketika sahabatku terbuai akan cinta dan hampir saja kehilangan bibirnya, reaksiku adalah ilfeel berat dengan pacarnya. Sebagai orang desa yang beradap, pacarnya itu sudah terlewat batas. Baru juga pacar, kok sudah berani bergerilya kemana-mana? Tapi tetap saja sahabatku itu kekeuh tidak memutuskan pacarnya. Aku sadar, itu haknya bukan hakku.
Ah sahabat, siapa sebenarnya dirimu?
Setelah bergelut di dunia maya, aku baru mengerti. Ada kalanya kita punya sahabat yang dekat tapi jauh. Yah, mereka sahabat dunia mayaku. Tak perlu aku berbagi duka pada mereka, yang aku ingin hanya tertawa bahagia. Kita saling berdiskusi tentang banyak hal dalam kehidupan dunia nyata. Tapi toh bukan berarti sahabat nyata itu tidak penting.
Jika pun ada yang bertanya tentang siapa sahabatku yang lebih real. Mungkin aku akan menjawab buku dan rasa sepiku yang selalu menemaniku kapan pun aku mau.
Saat kecil, aku punya seseorang yang ku anggap sebagai sahabat Meskipun kami adalah rival, tapi kami tetap bermain bersama. Sampai suatu ketika, aku mau saja saat dia menyuruhku untuk menjatuhkan sepeda seseorang yang terparkir disamping sekolah. Akhirnya, si pemilik sepeda menegurku. Dengan jujur, aku bilang temanku yang menyuruhku. Aku kira masalah akan selesai jika kami bisa menghadapinya bersama. Tapi nyatanya, dia meninggalkanku, dia tak mau mengaku. Aku tersedu, mengangis, aku benci. Cerita pahit kelas 3 SD masih saja membekas dalam rongga fikiranku. Inikah yang disebut sahabat?
Waktu kian berlalu. Aku masih tak menemukan sosok sahabat baru. Rasanya tak percaya saja menumpahkan masalahku pada orang lain. Banyak yang datang silih berganti. Tapi toh semuanya tak pernah tahan bersamaku. Mungkin aku sendiri yang terlalu sulit membuka pagar di hati.
Sebenarnya banyak juga juga yang mau menumpahkan masalahnya padaku. Aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Aku berusaha memberi masukan yang baik untuk mereka. Mungkin mereka menganggapku sahabat, lalu aku? Ya, aku juga ingin mendapat pengakuan yang sama.
Aku bukanlah sosok sahabat idaman. Harusnya mungkin aku bisa mendukung sahabatku saat ada masalah. tapi yang terjadi justru sebaliknya, aku menolaknya mentah-mentah. Aku tidak sering patah hati, tapi aku tau gelagat orang jatuh cinta. Ketika sahabatku terbuai akan cinta dan hampir saja kehilangan bibirnya, reaksiku adalah ilfeel berat dengan pacarnya. Sebagai orang desa yang beradap, pacarnya itu sudah terlewat batas. Baru juga pacar, kok sudah berani bergerilya kemana-mana? Tapi tetap saja sahabatku itu kekeuh tidak memutuskan pacarnya. Aku sadar, itu haknya bukan hakku.
Ah sahabat, siapa sebenarnya dirimu?
Setelah bergelut di dunia maya, aku baru mengerti. Ada kalanya kita punya sahabat yang dekat tapi jauh. Yah, mereka sahabat dunia mayaku. Tak perlu aku berbagi duka pada mereka, yang aku ingin hanya tertawa bahagia. Kita saling berdiskusi tentang banyak hal dalam kehidupan dunia nyata. Tapi toh bukan berarti sahabat nyata itu tidak penting.
Jika pun ada yang bertanya tentang siapa sahabatku yang lebih real. Mungkin aku akan menjawab buku dan rasa sepiku yang selalu menemaniku kapan pun aku mau.
Khairul Ashabi Man Yadulluka 'Alal Khair - Teman yang baik adalah yang menunjukkan kepada kebaikan.
Source |
“Tulisan ini diikut sertakan dalam GA 'Siapa Sahabatmu?'”